Dream And Love
Oleh: Adelina Tri Lestari
Hembusan angin sore menambah deras arus sungai kecil di pinggir lapangan sepak bola. Di sinilah aku biasa duduk untuk mengenang semua kenangan indah yang pernah ku rasa. Sambil menuliskan semua kenangan yang ku ingat ke atas kertas putih dengan tinta biru. Aku duduk di atas tanah dengan karpet rumput hijau dan menyandarkan diri yang lemah ini pada sebuah batu yang kokoh sambil ditemani suara arus deras sungai yang memerah diterpa cahaya matahari yang akan digantikan oleh rembulan.
“Riska, udah mau malam nih. Kita pulang yuk!” ajakan Vandi sambil setengah berlari menghampiriku. Aku pun tersadar dari lamunanku yang sudah sedari tadi. Dengan segera aku berdiri sambil memegang kepalaku sebentar. Aku pulang bersama Vandi yang badannya kuyup akibat keringatnya sendiri sehabis bermain sepak bola bersama dengan teman-temannya yang juga teman-temanku.
* * *
Vandi adalah tetangga sekaligus sahabat terbaikku. Kami menjadi tetangga saat kami kelas VII SMP hingga sekarang kami kelas X SMA. Kami pun bersekolah di tempat yang sama. Setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah bersama. Selalu dengan wajah ceria dan kebahagiaan kami lewati jalan raya yang lebar bersebelahan dengan hamparan sawah yang luas untuk menuju tempat kami menuntut ilmu. Tentu saja dengan semangat meraih cita-cita kami masing-masing. Secepat kaki kami mengayuh pedal sepeda, sebesar itulah semangat kami untuk meraih cita-cita kami sebagai dokter. “Ngapain sih kamu ikut-ikutan pengin jadi dokter? Mau nyaingin aku ya?” semburku saat mengetahui bahwa cita-cita Vandi juga dokter.
“Yeee, enak aja. aku tuh pengin jadi dokter supaya bisa nyembuhin orang-orang yang lagi sakit hati. Jadi dokter cinta gitu…” tawaku lepas saat mendengar cita-cita konyol yang ingin diraih Vandi.
Sebuah cita-cita yang sama, namun ku yakin hanya satu dari kami yang bisa meraihnya. Sulit bagiku untuk meraih cita-cita ini. Aku hanya dari keluarga yang sederhana. Ayahku hanya seorang buruh pabrik. Sedangkan Ayah Vandi adalah pengusaha maubel dan show room mobil yang cukup maju di kotaku, Yogyakarta. Namun semangatku takkan patah, ku yakin jika ku mampu nanti, pasti ada kemudahan bagiku untuk menggapai cita-cita ku ini.
* * *
Banyak hal indah yang ku lalui bersama Vandi, bermain layang-layang bersama, bermain petak umpet dengan teman-teman lainnya, bahkan bercebur bersama di sungai pinggir lapangan sepak bola sambil mendengarkan radio bututku. Hal yang tak pernah ku bayangkan saat pertama kali bertemu dengan Vandi. Aku mengira ia tidak akan pernah mau bermain denganku, anak seorang buruh pabrik. Tapi hal itu salah. Vandi ternyata orang yang tak pilih-pilih teman dan tak memandang seseorang dari status sosialnya. Sifatnya inilah, dan tak lupa sifat konyol juga tengilnya yang membuat kedudukan Vandi di hatiku terasa istimewa.Pernah saat kami bermain layang-layang bersama -walau sudah kelas XI SMP, tetap saja kami menyukai permainan ini. Saat itu aku memakai celana jins di atas lutut dan tank top. Memang terlihat tidak pantas, tapi itulah diriku saat itu. Aku belum menyadari kalau penampilan seorang gadis itu sangat berpengaruh terhadap orang disekitarnya. Saat melihatku seperti itu, Vandi dengan cepat memperingatkan “Heh Ris, cewek itu pakai baju yang ketutup dikit dong. Kalau aku apa-apain kamu disini, mau?” dengan senyum tanpa mengalihkan pandangan ke layang-layangnya yang sudah melayang tinggi. Saat itu pula mukaku memunculkan warna merah saking malunya diriku saat itu. Di rumah, aku pun menyimpan baju dan celanaku yang terlalu terbuka untuk disimpan dan aku berniat untuk tidak memakainya lagi.
Juga saat di sekolah. Saat aku duduk bak tukang ojek dan tukang bangunan di kantin ‘Acil Bungas’ –kantin milik Bude yang bersuku Banjar. Tak sadar aku akan cara dudukku yang terlalu sembarangan dan akupun tidak peduli akan hal itu. Saat itu jualah Vandi masuk ke kantin dan memesan soto Banjar kesukaannya. Tanpa melihat wajahku, ia berkata “Siapa ya, yang pake daleman warna hijau? Kayak kolor ijo aja.” dengan suara lantang ia mengucapkan kalimat itu, dan kuyakin pasti terdengar seantero kantin ini. Hampir saja tempe yang baru kumakan, ku keluarkan lagi. Muka merahku tidak bisa kututupi lagi. Aku langsung menghampiri Vandi, memegang tangannya dan mengajaknya lebih jauh dari kantin.
“Vandi, kamu tuh malu-maluin aku tau nggak. Kamu liat ya tadi?”
“Liat apa?” dengan muka sok bego.
“Liat yang itu?” mukaku kembali merah karena saking malunya.
“Oh… Nggak sengaja keliat, salah sendiri jadi cewek nggak hati-hati.” Vandi langsung ke kantin meninggalkanku yang sedang mencerna kata-kata Vandi.
Kata-kata Vandi yang terdengar sedikit nakal, tidak membuatku marah karena ku yakin ia tidak bermaksud apa-apa. Dan dengan kata-kata itu juga yang kini membuatku tersadar akan diriku untuk menjaga penampilan sebagai seorang perempuan. Sungguh betapa baiknya Vandi padaku. Hingga kusadari, ada rasa yang muncul di hatiku untuk Vandi. Kali ini bukan rasa suka sebagai sahabat, tapi lebih dari itu. Alunan lagu di salah satu stasiun radio sangat menggambarkan perasaanku saat itu.
Slamat datang cinta di hatiku…
Ku sambut hadirmu…
Berikan aku cinta… Rahasia kehidupan…
Tanpa engkau cinta, aku pun tak percaya hati…
Cinta tak pernah, salah dalam memilih…
Tidak terasa waktu banyak berlalu. Waktu jualah yang kini membuatku sadar bahwa aku bukanlah anak kecil lagi, melainkan seseorang yang mulai tumbuh dewasa dan mencoba untuk memilih sendiri apa yang terbaik untuk diriku. Aku sudah menjadi siswi SMA, banyak hal yang harus kuperbaiki untuk menjadi pribadi yang matang dan tentunya lebih baik. Kini aku sudah beranjak dewasa, aku mulai menyadari bahwa menutup aurat itu diharuskan bagi wanita yang sudah baligh menurut agamaku, Islam. Tanpa ragu aku pun mengenakan jilbab untuk menutup auratku, suatu perubahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik di hadapan Allah.
“Hai Van!” sapaku sambil memukul pundak Vandi dari belakang. Senyum mengembang melekat di wajahku yang juga dihiasi degan balutan jilbab biru muda.
“Oh, hai! Waaw, udah berubah ya sekarang?” dengan sedikit terkejut saat Vandi melihatku. Hampir saja Al-Kitab yang dibawanya sehabis kebaktian terjatuh. Entah kenapa aku merasakan ada senyum hambar diwajah Vandi.
Aku merasa Vandi memang satu-satunya orang yang dapat mengisi kekosongan hatiku. Dengan yakin, aku pun merasa kalau Vandi juga merasakan hal yang sama. Entah mengapa aku bisa berpikiran hal seperti itu. Tapi apalah arti dari rasa ini? Rasa yang tidak mungkin bersatu karena perbedaan keyakinan yang sangat sulit untuk dihadapi. Aku sadar, Vandi adalah Kristiani yang sangat taat pada agamanya. Dan aku, Muslimah yang taat pada agamaku. Aku tahu bahwa mencintai Vandi adalah hal yang salah, namun diriku sulit untuk mengatakan ‘aku tidak mencintainya’, karena hatiku berkata sesuatu yang bertentangan. Biarlah rasa ini kupendam di hatiku –entah hingga kapan. Sekarang aku hanya ingin terus bersamanya, aku ingin terus bermain, bersepeda, dan belajar bersamanya. Tanpa memikirkan agama yang tentunya melarang, aku pun membiarkan cinta ini tumbuh. Tumbuh dengan subur dan cinta itu selalu mengiringi hari-hariku. Entah darimana, tiba-tiba saja terngiang di telingaku sebuah lagu yang dibawakan oleh Marcell. Tentu lagu ini dapat mewakili perasaanku saat ini, perasaan terdalamku.
Tuhan kita satu…Kita yang tak sama…
Haruskah aku, lantas pergi…
Meski cinta… takkan bisa pergi…
* * *
2 tahun kemudian.“Riska, Riska, tunggu mama, nak!” teriak mama Riska di koridor rumah sakit sambil belari tergopoh-gopoh.
Tanpa peduli, Riska terus berlari sambil membiarkan tetesan air matanya jatuh ke setiap jalan yang ia lewati. “Ciiiitttt!!!” rem mobil Avanza hitam mendecit dan berhenti saat Riska tanpa sadar telah menghalangi jalan mobil itu dan telah membahayakan hidup yang memang sudah dianggapnya tidak berguna lagi.
Sesampainya di rumah, tangisan Riska semakin keras dan hatinya semakin terpukul saat melihat orang yang berada di dalam mobil hitam tadi adalah Vandi dan Rena. Ia menghempaskan pintu kamar dan melempar jilbab yang digunakannya ke lantai –tempat dirinya yang lemah itu berpijak. Riska menangis. Hal yang tak pernah dilakukannya lagi semenjak masuk SMP. Semenjak mengenal Vandi, orang yang membuat hari-harinya terasa indah.
Malamnya, mama menemui Riska di kamar. Memeluk dengan kehangatan kasih dan sayangnya. Riska masih menangis. “Menangislah nak, jika itu bisa membuat hatimu lebih tenang. Luapkan semua yang kini menyesakkan hatimu.” Mama mencoba memahami hati anaknya yang sedang bergejolak.
“Ma, kenapa Allah jahat sama Riska? Apa Riska punya banyak dosa sama Allah? Apa Allah benci sama Riska? Kenapa, Ma? Riska sudah menuruti apa yang telah Allah perintahkan. Tapi kenapa Allah ngasih Riska penyakit ini, Ma? Ini bikin Riska membenci hidup, Ma. Sakit rasanya… Riska juga bingung, kenapa di saat Riska pengin nunjukin dan memberi cinta yang tulus, di saat itu juga tembok penghalang terbentang kokoh? Kenapa hidup ini nggak adil, Ma? Kenapa aku nggak bisa mencintai Vandi, Ma? Kenapa?” bertubi-tubi pertanyaan tertuju kepada Mama Riska. Pertanyaan-pertanyaan yang menggambarkan isi hati anaknya yang sedang rapuh.
“Riska, kadang mengetahui kapan kita meninggal itu adalah beban terberat. Tapi sadarilah Ris, semua orang akan meninggal dan kamu masih diberi kesempatan agar siap menghadapi itu. Kebanyakan orang tidak tahu kapan ia akan meninggal, dan ia tidak sadar kalau kesempatan yang diberi untuknya belum digunakan dengan baik, sehingga banyak orang yang belum siap akan kematian. Mama harap kamu mengerti akan kebaikan Allah yang selalu diberi-Nya dalam segala cobaan.” Mama menarik nafas panjang. Riska hanya diam dalam tetesan air mata yang masih membasahi pipinya. “Riska, mama tahu kamu mencintai Vandi. Mama bisa merasakan indahnya jatuh cinta kepada seorang lelaki, apalagi jika bisa memberi cinta yang tulus kepadanya. Dan mama juga bisa merasakan betapa sakitnya ketika kenyataan dan agama kita berteriak ditelingamu bahwa kamu tidak boleh mencintainya. Tapi harus kamu sadari, kamu mencintainya semata-mata hanya karena Allah. Sadarilah nak, cinta paling hakiki, yang kekal selamanya adalah mencintai dan dicintai oleh-Nya. Pasti akan ada lelaki yang akan menempati tempat kedua di hatimu setelah-Nya. Pasti ada. Bersabarlah, nak!”
Riska hanya diam melewati malam ini yang akan menutup hari terlelah dan menyakitkan dalam hidupnya. Mama memberi anaknya kesempatan untuk menenangkan hatinya. Setelah sepiring nasi plus lauk dan sayur diletakkan di atas meja, mamanya keluar. Tak ada selera makan, ia hanya berbaring di tempat tidur sambil mendengar radio tua yang ada di kamarnya. Lagu Glen Fredly diputar, seketika itu pula air mata Riska membasahi pipi dan hatinya. Sakit, hanya itu yang dapat ia rasakan sekarang.
Bersamamu, ku lewati lebih dari seribu malamBersamamu, yang ku mau namun kenyataan yang tak sejalanTuhan bila masih ku diberi kesempatanIzinkan aku untuk mencintainyaNamun bila waktuku telah habis dengannyaBiar cinta hidup skali ini saja
* * *
Dear diary,
Sudah sejak SMP aku merasakan keanehan di tubuh ini. Aku sering pusing, bahkan sering pingsan dan muntah. Namun aku tak mau dan tidak berniat memeriksanya ke dokter. Selain tidak punya uang, aku juga menganggap kalau hal ini terjadi karena aku kelelahan. Sangat bodohnya diriku saat itu.
Hari itu, hari yang sangat berat bagiku. Saat dimana aku merasa hidup ini tak lagi adil. Hidup dan kebahagiaan tak sedikitpun berpihak kepadaku. Seringnya aku muntah dan pingsan selama 5-30 menit. Dan terparah, saat bagian depan kepalaku sangat sakit sampai gigiku pun gemeretakan menahan sakit itu. Hal yang tak pernah ku bayangkan, ternyata hidupku hanya tinggal 6 bulan. Hahahaha, waktu itu cukup lama atau sangat sedikit. Aku pun tak tahu.
Vandi. Nama itu selalu ada di otakku yang terkena penyakit ini. Jujur, sulit bagiku untuk tertawa saat melihat ia bersama orang pilihannya, Rena. Tak bisa aku ikut merasakan kebahagian yang dirasakan sahabat terbaikku itu. Sakit. Tangis. Cemburu. Itu yang kurasakan. Rasa yang menyadarkan dan menunjukkan betapa rasa itu sudah berubah menjadi cinta. Cinta yang tak terbalaskan.
Hidup sungguh tidak adil. Saat aku merasakan indahnya cinta dan aku melupakan perbedaan itu, tapi saat itu jualah hidup menghempaskanku ke bumi. Sakit…. Ketika aku menyadari bahwa Vandi adalah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan yang menentang dan agama yang menyadarkanku, bahwa dia jualah orang yang tidak boleh kumiliki dalam hidup ini. Sangat konyol memang, tapi itulah hidupku.
Aku akan melepaskan apa saja, melakukan apapun, meninggalkan apapun, asal bisa bersamanya. Tapi aku hanya manusia yang tidak bisa menentang Allah. Yang bisa kulakukan hanya keluar dari hidup Vandi. Melupakan perasaan ini, bukan melupakan Vandi -entah sampai kapan. Walaupun ini akan menghabiskan sisa hidupku untuk melupakannya. Aku tak peduli. Aku hanya ingin di saat aku sudah bisa melupakan rasa ini, tak ada lagi perasaan yang muncul setiap kali melihatnya. Aku bisa tersenyum saat ia bersama Rena. Itu yang ku inginkan.
Kapan aku bisa berhenti mencintainya? Mungkin perasaan ini akan hilang kalau kutinggal mati… hanya Allah yang tahu perasaanku yang paling dalam terhadap Vandi.
R.I.S.K.A
Aku dan segala yang ku inginkan
di hidup ini.
* * *
‘1 bulan lagi menuju UN SMA. Tak terasa sekali. Serasa baru kemarin aku menjadi siswi SMP. Baru kemarin aku bermain layang-layang bersama Vandi, bersepeda di pinggiran sawah dan bercebur bersama di sungai pinggir lapangan sepak bola, yang sekarang tidak pernah kami lakukan lagi. Mungkin karena itu permainan anak kecil, atau mungkin juga karena Vandi tak punya waktu untukku. Habis untuk Rena. Aku pun bingung apa penyebabnya.’Lamunan Riska terhenti saat Vandi mengejutkannya. “Hey… ngelamun aja ni anak. Mikirin cowok ya?”
‘iya mikirin kamu Vandi.’ Itu dalam benak Riska. Namun ia hanya senyum, walau sakit mendera hatinya melihat Vandi datang bersama Rena. “Eh, dari mana aja nih? Dari kemaren beduaan mulu deh.” Ucapan Riska mencoba dengan nada seceria mungkin.
“Oh… biasa. Habis dari gereja. Hehe, kebaktian bareng.” jawab Vandi sambil melirik Rena.
“Jangan sampe ntar niatnya jadi berubah lo ya. Oh ya, mau ngapain nih ngikut-ngikut ke taman? Kangen sama aku ya? Ntar Rena cemburu lo.” Riska mencoba menahan rasa sakit hatinya.
“Hehe… ya nggaklah. GR banget deh lo. Oh ya, habis aku mau nabrak kamu kemarin, kok akhir-akhir ini kamu kelihatan lesu? Kayak orang mau mati aja.” Vandi nyerocos tanpa pikir panjang.
“Hahaha, iya mau mati. Gara-gara kamu mau nabrak aku sih.” Riska menjawab seadanya.
Hari itu, hari terindah bagi Riska. Hari dimana setelah beberapa bulan lamanya gadis itu tidak bersama Vandi lagi setelah ada Rena. Hari itu mereka bermain dan bercanda bersama. Riska, Vandi, dan Rena. Bermain tanpa mengingat perasaan yang sudah tumbuh namun ingin dikubur. Bermain lepas. Bermain seperti dulu. Tanpa ada rasa cinta, sakit, dan cemburu.
Hari itu pula, Riska mencoba melepas beban berat yang dari kemarin bergentayangan di pikirannya. Ia ingin memfokuskan pikirannya pada pelajaran di sekolah. Fokus hanya pada pelajaran, tidak memikirkan penyakit, mati, hidup tak adil, cinta, sakit, tangis, cemburu, Rena, dan… Vandi tentunya. Tujuannya hanya satu. Mendapat nilai memuaskan saat UN, itu sudah cukup membuatnya bangga pada dirinya sendiri atau mungkin juga membuat orang tuanya bangga. Meskipun tidak bisa menjadi dokter. Hari itu pula ia pun belajar bersama Vandi, hal yang sering mereka lakukan semasa dulu.
Vandi hanya tersenyum melihat Riska. Tersenyum melihat sahabatnya yang rapuh kini kembali ceria. Vandi tahu semua tentang Riska. Ia tahu sahabatnya sedang rapuh menghadapi kenyataan tentang penyakit yang menghilangkan keceriaan hidup sahabatnya itu. Tapi satu yang cowok bertubuh cokelat gelap itu tidak tahu. Orang yang dicintai Riska. Cinta Riska yang kini membuat Riska semakin rapuh. Sangat rapuh. Dan perlu sahabat disampingnya, menemaninya, menghiburnya.
* * *
“Hoooreee…, akhirnya UN selesai juga.” Teriak Riska diantara teriakan-teriakan siswa lainnya.“Ris, entar sore kita jalan yuk! Ke lapangan sepak bola.” Ajak Vandi.
“Waaaw, tumben nih ngajak aku. Biasanya kan Rena, aku mana ada dipeduliin lagi.” Sindir Riska diikuti senyum menyeringai yang menampakkan barisan gigi-giginya juga gigi gingsul yang menambah senyuman manisnya.
“Ihhh, jangan gitu dong. Biar begini, aku kan masih peduli sama sahabatku yang pendek dan jelek ini.” Kata Vandi sambil memegang kepala Riska. Seketika itu pula, ia langsung berlari menghindar dari serangan tangan Riska.
Sorenya, dengan sepeda kesayangannya, Vandi datang ke rumah Riska dengan tas besar penuh dengan barang-barang. Mama Riska pun menyambutnya dengan senang. Sampai Riska keluar dari kamarnya dan terkejut. “Kita mau jalan, apa mau mudik sih? Bawaannya sampai segede gentong gitu.”
“Udah jalan aja sana! Nih barang-barangmu. Kasian kan Vandi kelamaan nunggu kamu dandan tadi.” Mama Riska menyerahkan barang-barang Riska dan mendorongnya untuk ikut bersama Vandi.
“Mama… mana ada aku pake acara dandan segala.” muka Riska cemberut.
“Haah, udah sana! Jaga anak tante ya, Van. Jangan diapa-apain.” canda Mama Riska.
“Mama…” muka Riska mulai terasa panas. Memerah. Malu banget.
Di perjalanan menuju lapangan sepak bola tujuan mereka, Riska masih memendam kebingungannya. Sampai di tempat itu, Vandi lansung memasang dua tenda. Masih dengan wajah bingung, akhirnya Riska angkat bicara. “Kita mau apa sih, Van? Mau camping nih ceritanya? Berdua aja? Apa kata orang-orang yang ngeliat kita, dodol?”
“Udah ah, diem. Banyak nanya. Mama kamu aja udah ngijinin. Tuh liat, di sana kan rumah Rio, trus disebelahnya lagi rumah Dela. Mereka kan punya satpam khusus jaga malam. Aku udah minta satpam mereka mantau kita. Kalau aja kamu apa-apain aku.” jawab Vandi tanpa berpaling dari tenda yang sedang didirikannya.
“Heheyyy, gila aja. Yang ada kamu lagi, yamg apa-apain aku.” bantah Riska membela diri.
“Jadi ceritanya kamu mau nih ku apa-apain?” balas Vandi dengan senyum nakalnya. Langsung saja tutup panci yang dibawa Riska melayang ke kepala Vandi. “Auwww, tega banget lu, Ris.”
Senja pun berganti malam. Api unggun sudah dihidupkan untuk menemani bintang menerangi malam mereka hari ini. Suara keruyukan perut mereka pun mulai terdengar.
“Nih, masak Mie Soto Banjar! Masakin juga buat aku ya.” Perintah Vandi dengan jiwa sok kepemimpinan.
“Haha, kamu kira aku apaan? Nggak ah. Masak aja sendiri. Manja banget.” sindir Riska dengan muka sewot.
“Nyadar dong. Kodrat kamu itu sebagai cewek. Harus bisa masak, harus bisa melayani. Gimana ntar orang yang bakal jadi suami kamu? Yang ada bakal minta cerai melulu.” kata Vandi tak kalah pedasnya.
Setelah makan Mie Soto Banjar masakan Riska yang dengan terpaksa memasaknya, mereka pun duduk menghadap api unggun. Menghadap sumber kehangatan di tengah dingin yang menyelimuti malam itu.
“Ris, kita jadi nggak nih ngeraih cita-cita bareng? Jadi dokter.” tanya Vandi mantap.
Riska hanya tersenyum.
“Kayak curut tau nggak. Orang ditanyain, malah senyum-senyum orgil gitu. Udah pendek, tambah jelek lagi….”
“Eh sialan, yang ada kalo badan mungil kayak aku ini, orangnya pasti berwajah imut tau…” bela Riska.
Vandi menatap dalam mata Riska. “Ris, entar aku kuliah di Jepang. Kamu nggak bakal kangen kan?” goda Vandi.
Riska hanya diam. Dirinya terkejut. Sakit, hanya itu rasa yang ia rasakan saat mendengar ucapan Vandi. Kenapa di saat-saat terakhirnya, sahabatnya mau meninggalkannya. Kenapa? Riska tetap mencoba terlihat bahagia. “Waaww, Jepang. Umh… gimana ya? Kalau tiba-tiba aku kangen sama kamu gimana? Kamu mau bolak-balik Indonesia-Jepang buat ketemu aku?” senyum sakit hati Riska.
“Ya udah, pandangin aja foto aku.”
“Haha, mana ada fotomu yang ku punya. Satu-satunya yang ku punya, pas kita berfoto berdua waktu main layang-layang. Itu juga gambar kamunya dimakan tikus. Doyan banget tuh tikus makan gambar orang jelek.” Riska merasa menang dengan kebohongannya.
“Halah, bohong. Aku kan pernah liat foto itu di dompet kamu. Malah di edit lagi. Ada love love-nya gitu di atas kepalaku, itu yang dimakan tikus?” Vandi puas melihat wajah Riska yang memerah.
“O ya, apa sih tujuan kamu ngajak aku camping nggak jelas kayak gini? Apa Rena nggak marah, kita cuma berdua aja?” Riska mengalihkan pembicaraan, kecemasan muncul mengingat Rena.
“Aku mau nebus kesalahanku. Setelah aku punya Rena, rasanya aku kurang peduli lagi sama sahabatku yang sok keimutan ini. Kita jadi jarang bareng-bareng lagi. Kalau Rena nggak pa-pa kok. Toh inijuga rencana dia kok. O ya, kok kamu kena penyakit serius, nggak bilang-bilang sih? Kanker otak itu penyakit serius, tau?” wajah Vandi serius, namun tergambar kekecewaannnya
“Kok kamu tahu sih? Pasti mama deh yang bilang. Pasti mama juga yang nyetujuin acara camping gaje ini. Kalian tega ya, punya rencana keren kayak gini nggak bilang-bilang sama aku.” Senyum menyeringai menghiasi wajah Riska. “Udah, masalah penyakit jangan dibahas lagi. Malam udah keren kayak gini, malah ngomongin penyakit. Mending kita nyanyi!” ajak Riska sambil menyuruh Vandi mengambil gitar yang memang sudah dibawanya dari sore tadi.
Langit malam indah terlihat, dengan senyuman rembulan dan taburan bintang yang menghiasinya. Sungguh indah malam ini. Lagu-lagu pun mulai mereka nyanyikan. Kebanyakan lagu-lagu yang suka mereka dengar saat bercebur bersama di sungai dulu. Lagu-lagu seru yang didendangkan dari radio tua Riska.
Setelah beberapa lagu mereka nyanyikan bersama, rasa ngantuk mulai menghampiri, meminta malam ini ditutup dengan indah. Lagu terakhir yang dinyanyikan Vandi sendiri, tentunya masih dengan petikan gitarnya yang handal adalah lagu Peterpan, Semua Tentang Kita. Riska hanya menyandarkan kepalanya di pundak Vandi. Ia sudah sangat mengantuk dan tidak lama lagi ia pun terlelap. Terlelap saat alunan lagu Peterpan itu dinyanyikan Vandi.
Waktu terasa, semakin berlalu…Vandi mengusap air mata yang ternyata dari tadi sudah membasahi pipinya. Ia menatap wajah Riska yang terlihat ceria malam ini. Ia memegang pipi mungil Riska. Mengutarakan isi hatinya kini. “Riska, Riska, aku kira kamu dulu nggak bakal bisa sakit. Kamu kan kuat. Berenang aja, kamu yang duluan nyampe. Masa dulu sungguh berbeda dengan sekarang. Tapi aku tetap pengin Riska yang dulu. Riska yang nggak pernah nangis dan selalu pengin dianggap jagoan. Ris, maaf ya kalau beberapa bulan terakhir ini, aku jarang punya waktu buat kamu. Aku milih ngabisin waktuku sama Rena. Tapi itu ku lakuin untuk ngilangin rasa cintaku ke kamu. Aku mencoba buang rasa ini jauh-jauh. Malam ini, aku pengin bilang ke kamu, AKU SAYANG KAMU SEBAGAI SAHABAT. Setidaknya itu yang keluar dari mulutku. Tapi rasa sebenarnya hanya akan terpendam di hatiku. Maaf Ris, aku ngingkarin janji kita, aku nangis…”
Tinggalkan cerita, tentang kita…
Akan tiada, lagi kini tawamu…
Tuk hapuskan semua, sepi di hati…
Ada cerita, tentang aku dan dia…
Dan kita bersama, saat dulu kala…
Ada cerita, tentang masa yang indah…
Saat kita berduka, saat kita bersama…
Teringat di saat, kita tertawa bersama…
Ceritakan, semua tentang kita…
Malam semakin larut. Vandi pun menggendong Riska yang tertidur pulas di pundaknya ke dalam tenda. Dengan penuh kasih, ia mengucap selamat malam dan mengecup kening Riska. Setelah itu ia keluar dan menutup tendanya. Segera ia mematikan api unggun yang sudah menemani malamnya bersama Riska dan masuk ke tendanya dengan rasa yang berkecamuk di hatinya. Namun itu diwakilkan dengan perasaan bahagia melihat sahabatnya –ya, hanya sahabatnya- itu tersenyum.
* * *
“YEHEEE!!!” sorak sorai serta rasa syukur anak-anak SMA BUNGA BANGSA menyambut kelulusan sekaligus perpisahan yang baru saja diumumkan. Terlihat senyum mekar di wajah Riska. Namun sedikit hambar saat matanya melihat pemandangan yang terasa menyakitkan hatinya. Vandi mencium kening Rena. Riska tidak tahu, padahal bibir Vandi pun pernah mendarat di keningnya. Kepala Riska terasa sangat pusing.BRAAAK!!!
“Di mana nih?” suara terdengar memecah keheningan dan kecemasan.
“Kamu tadi pingsan, sayang. Dan Vandi yang bawa kamu pulang ke rumah. Karena Vandi tahu kalo kamu nggak mau ke rumah sakit lagi, kan?” jelas mama sambil tersenyum mengakhiri kecemasannya. “Kamu pasti kecapean kan, Ris?”
“Nggak kok. O ya, Vandi mana Ma?”
“Udah pulang, tadi katanya ada yang mau di urus sebentar. Nanti mau ke sini lagi kok.”
“Tante” suara Vandi dari luar terdengar.
“Nah, tuh baru aja dibilang. Masuk Van, tuh Riska udah sadar. Tante tinggal dulu, ya.”
Vandi pun masuk ke kamar Riska sambil membawa sekeranjang buah-buahan dan tersenyum melihat Riska. “Dasar loh, tadi nama kamu dipanggil tau? Eh tahunya kamu malah pingsan. Konyol banget deh.”
“Hah? Dipanggil? Kenapa?” Riska tampak heran sambil merapikan jilbab yang baru saja dipakainya karena melihat Vandi datang.
“Belum nyadar juga? Dari dulu orang-orang pendek terus jelek selalu dicari polisi, tau?” senyum menyindir Riska.
“Hah? Enak aja! yang ada, aku tuh mungil terus imut tau? Lagian juga, kalo misalkan aku tuh dipanggil, tau nggak dipanggil siapa?”
“Ummhh… dipanggil Pak Darso. Soalnya mau bilang kalo baju olahraga sama baju batik ukuran tubuh kamu nggak ada. Langka. Hahahaha….” Vandi tertawa puas setelah bisa membuat Riska kesel setengah mati.
“Ihh… bete. Yang ada, aku tuh dipanggil para pegawai kerajaan…” ucapan Riska terpotong.
“Buat kerja, bersihin lantai kerajaan.” Vandi memotong ucapan Riska.
“Enak aja!!! pegawai kerajaan tuh manggil aku soalnya pangeran minta aku jadi permaisurinya, makanya aku dipanggil buat datang ke kerajaan.” Riska membanggakan diri.
“Heleh, ngaco! Tadi nama kamu dipanggil pak Kepsek untuk nerima penghargaan sebagai siswa yang memperoleh nilai tertinggi UN tahun ini. Bukannya maju kedepan, eh taunya malah pingsan.”
“Yeee, emang kamu kira nih pingsan direncanain?”
“Ummhhh… Ris….” Wajah Vandi berubah serius.
“Napa?” Riska heran.
“Hehe, nggak jadi. Aku cuma mau bilang, kalo aku….” Kata-kata Vandi menggantung.
Riska mengerinyitkan dahinya bertanda bingung.
“Kalo aku tambah ganteng, hahahaha….”
“Jiah… jangan sampe deh aku muntah-muntah di sini.”
Tawa mereka lepas mengiringi kebersamaan mereka berdua. Entah perasaan apa yang ada dalam diri mereka masing-masing. Lagu Drive-Bersama Bintang mengalun dari radio tua Riska yang disetel nyaring oleh mamanya dari ruang tengah. Lagu ini seolah menggambarkan suara hati Vandi yang sulit untuk diucapkannya. Kata-kata yang ingin disampaikan untuk sahabat terbaikknya, sebelum ia meninggalkan Indonesia besok lusa.
Sesungguhnya aku tak bisa…
Jalani waktu tanpamu…
Perpisahan bukanlah duka…
Meski harus menyisakan luka…
Tidurlah… selamat malam…
Lupakan sajalah aku…
Bermimpilah… dalam tidurmu…
BERSAMA BINTANG…
* * *
Di sinilah perjuangan dua anak manusia untuk membohongi hatinya masing-masing. Mereka menyanggupi tantangan –yang tentunya bertolak belakang dengan hati dan perasaan mereka- untuk menghindari keegoisan dan mengedepankan apa yang telah menjadi keyakinan mereka selama ini. Mencoba untuk membuang rasa cinta –yang terasa membahagiakan- namun kini terasa begitu pedih.“Ya Allah, kuatkan hati ini untuk menjalani apa yang harusnya menjadi kenyataan. Buatlah hati ini menerima apa yang telah kuyakini, ya Allah. Walau sekarang terasa sangat sakit, ku yakin saat ku tak bisa melihat dunia ini lagi, sakit itu pasti hilang dan terkubur dalam kebahagiaan. Dan aku pantas memuji diri ini yang telah mampu berjuang melawan hati dan keegoisan demi kenyataan dan keyakinan.” Riska menangis dalam do’anya. Air bening keluar dari pelupuk matanya dan membasahi pipi sekaligus mukena yang sedang dipakainya.
“Dalam do’a ini, ku ingin memohon ampun atas segala dosa yang telah kuperbuat. Jika ku harus pergi secepat ini, ijinkanlah aku mendapat sebuah cinta. Walaupun mungkin yang ku dapat adalah cinta-MU. Ijinkanlah ku mendapatkannya. Aku bermohon dan berserah diri hanya padamu. Diri ini sudah lemah ya Allah. Ijinkanlah aku meninggalkan dunia ini dan semua orang yang kusayangi dengan bahagia tanpa rasa menyesal sedikitpun.” Riska mencoba tegar dan tersenyum untuk mengiringi do’anya.
Butiran air mata wanita separuh baya di depan pintu kamar Riska yang sedikit terbuka, kini terjatuh ke lantai. Dirinya tak sanggup melihat itu semua. Tapi dia mencoba tabah dan tegar. Ia tidak ingin terlihat sedih saat berhadapan dengan anaknya yang tersenyum dan tegar.
* * *
“Tuhan, inilah jalan terbaik yang kupilih. Jujur, hingga sekarang aku masih belum bisa menghilangkan rasa cintaku kepada Riska. Ku tahu ini salah, ku tahu itu. Tapi ku yakin, suatu saat ku bisa menghilangkan perasaan itu. Berkatilah perjalananku besok. Perjalanan untuk selangkah mencari kesuksesan hidupku dan cara untuk mengubur rasaku pada Riska. Bantu aku untuk menghilangkan perasaan itu, Tuhan. Ku yakin aku bisa, dan ku yakin Kau selalu disisiku.” Vandi terhanyut dalam do’a sebelum tidurnya. Menutup malam itu dengan niat yang mantap untuk menjalani hari esok.* * *
Vandi merasakan kerinduan pada sahabat terbaiknya, Riska. Dengan yakin, ia menulis e-mail pada sahabatnya itu, sambil ditemani lagu ‘Rindu Setengah Mati’ yang mengalun dari Winamp di komputernya.From : vandi_first@gmail.comTo : riska_rintania@yahoo.co.idCc : -Subject : SALAM BUAT SAHABATKURiska sahabatku yang kusayang selaluuuu (hehe, lebai ya)Udah 1 bulan kita nggak ada saling kontak, kangen nggak?Maaf ya, aku ke Jepang nggak pamitan dulu ke kamu. Aku hanya ingin tenangin diriku sebelum aku siap kehilangan sahabat terbaikku. Ku tulis ini sambil mengingat masa-masa indah SMP kita hingga sekarang kita lulus SMA dan beranjak dewasa.Kedewasaan membawaku pada perasaan tak menentu di hati ini. Ku merasakan kebahagian yang berbeda setiap ku melihat dan berada bersamamu. Sampai akhirnya aku sadar bahwa kita berbeda keyakinan. Perbedaan itu menyulitkan aku untuk bersatu denganmu. Dan ku tahu, kau pun sadar akan hal itu. Tapi aku nggak mau perasaanku terabaikan. Hingga kini aku bertekad untuk memberi cintaku sepenuhnya hanya untuk kamu, Riska. Walau ku tahu, aku nggak mungkin bisa memilikkimu.Sebenarnya aku sadar, aku sudah mempermainkan perasaan seorang cewek, Rena. Aku menjadikannya sebagai pelarian cintaku. Memang ku akui ini salah. Tapi hanya itu yang bisa kulakukan untuk melupakanmu. Rena pun tahu hatiku hanya untukmu dan dia bisa memaklumi itu. Ris, bolehkah aku memberi cintaku hanya untukmu? Walau ku tahu cinta ini nggak bisa bersatu. Tapi memberi cinta padamu itu cukup membuatku merasa bahagia.AKU MENCINTAIMU, RIS… SUNGGUH…Mungkin aku memang egois, tapi inilah isi hatiku yang sebenarnya, yang tentu sulit untuk kubohongi.Aku… ingin engkau ada di sini…Menemaniku saat sepi…Menemaniku saat gundah…Berat… hidup ini tanpa dirimu…Ku hanya mencintai kamu…Ku hanya memiliki kamu…Aku, rindu… setengah mati kepadamu…Sungguh ku ingin kau tahu…Ku tak bisa… hidup tanpamu…
Riska membaca e-mail yang sudah dari dua hari yang lalu masuk. Ia membaca dan membalas dengan ketikan agak lambat.
From : riska_rintania@yahoo.co.id
To : vandi_first@gmail.com
Cc : -
Subject : KANGEN NGGAK, YA?
Sahabatku Vandi…
Tega ya, ke Jepang nggak bilang-bilang. Ntar kalo pulang ke Indo, bawain aku oleh-oleh ya. Aku minta Doraemon. Hehehe…
Keegoisanmu ku yakin dapat menenangkan hatimu saat ini. Tapi yakinlah dan buanglah keegoisan itu di kemudian hari. Aku bangga bisa dicintai oleh sahabat terbaikku dan aku nggak melarangmu untuk memberikan cinta itu. Tapi sadarilah, aku kini sudah bahagia dalam penantian detik-detik terakhirku ini. Kebahagian itu kini ku dapat setelah sekian lama aku membuang rasa cinta itu padamu dan ku menggantinya dengan rasa cinta kepada Tuhanku. Tapi rasa sayang masih tersisa untuk kamu, kok… hehehe…
Cobalah untuk melupakanku, dan bukalah hatimu untuk orang lain. Ku yakin dengan ini, akan membuat hidupmu lebih berarti.
Terima kasih sudah pernah menghiasi hatiku selama ini. Ku tak pernah membayangkan akhir sebuah kehidupan itu bagaimana, tapi ku yakin pasti akan berakhir bahagia, jika kita bisa menghargai dan mencari arti dalam sebuah kehidupan.
Mungkin ini yang terakhir, Van. Dan ini perasaan terakhirku saat ini.
Aku bahagia melihatmu nantinya bersama orang pilihanmu, tentunya pilihan itu tanpa keegoisan. Yah, hanya sesederhana itu keinginanku, ku harap kau mampu memenuhinya.
YOU’RE MY BEST FRIEND, VAN
Makasih sudah memberi warna di hidup ini ^,^
R.I.S.K.A.
* * *
Butiran air mata dicoba untuk tidak menetes membasahi gundukan tanah merah ini. Begitulah yang dilakukan mama dan ayah Riska. Mencoba melepas anak semata wayangnya untuk selamanya dengan bahagia. Karena mereka yakin, Allah lebih menyayangi Riska. Dadanya yang sesak dicoba untuk ditahan. Menahan kesedihan dengan mencoba terlihat bahagia. Sekuat wanita paruh baya itu menahan air matanya, itulah pengukur ketegaran dan keikhlasannya menghadapi semua ini.* * *
Jepang, Apartemen VandiMaaf Ris, aku belum sanggup melihat kenyataan yang ada sekarang. Mungkin saat ku sudah bisa melupakanmu dan menemukan orang yang bisa ku cinta lagi, aku janji akan kembali ke Indonesia dan mengunjungi tempat peristirahatanmu. Istirahatlah sahabatku, dengan bahagia tentunya. Maaf, tetesan air mata ini harus kujatuhkan saat mengenangmu.
* * *
Hidup itu sebenarnya adil. Tapi manusia yang tak sempurna selalu menganggapnya tidak adil. Karena itulah hidup selalu dikatakan tidak adil. Banyak cara untuk memberi kesan di hidup ini, dua diantaranya dengan mengejar cita-cita dan cinta.Cita-cita dan cinta adalah dua hal yang sangat berbeda. Tapi ada yang menyadari atau tidak, dua hal tersebut sama-sama menjadi kejaran dalam hidup. Orang mengejar cita-cita untuk menggapai tujuannya hidup di dunia ini. Orang juga mengejar cinta untuk menambah cita rasa dan aroma hidangan yang disajikan oleh kehidupan.
Terkadang saat semangat kita terpacu untuk mengejar dua hal tersebut, kenyataan berkata lain. Kenyataan menghalangi kita untuk mengejarnya. Tapi hidup itu adil, walaupun kita terhalang untuk mengejar semua itu, tapi tidak ada kata terhalang untuk sedikit merasakan indahnya cinta dan semangat meraih cita-cita. Jika masih ada sedikit harapan, tentu itu tidak akan kulewatkan. Ku coba sebisa mungkin meraih cita-cita itu, walau ku tau itu tidak akan tercapai. Tapi kuyakin, semangatku meraihnya sudah mewakili cita-citaku yang sesungguhnya.
Tak lupa cinta. Ia juga akan kuraih untuk memberi goresan warna-warna indah dihidup ini. Cinta –kata ajaib, yang terkadang kita sulit untuk mencari definisinya. Cinta itu kasih sayang yang tulus. Seberapa dalam kita menyayangi seseorang, seperti itulah kita dapat menghargai sebuah cinta.
Cinta tak harus memiliki. Terkadang aku meremehkan kalimat itu. Tapi kini ku sadar, cinta itu tak harus kita miliki, tapi kita hargai dengan pemberian kasih sayang kita. Cinta mengalahkan semuanya. Menurutku itu salah, karena jika begitu sama artinya bahwa cinta adalah keegoisan.
Keyakinan bukan penghalang sebuah cinta. Hanya, cinta tak bisa meluluhkan keyakinan yang berbeda. Karena keyakinanlah yang mengatakan bahwa cinta itu suci. Namun kebanyakan hati bertentangan dengan keyakinan. Apa itu menandakan bahwa keyakinan kita belum merasuk ke dalam hati kita? Hanya pribadi masing-masing yang dapat menjawabnya. Dengan keyakinan, tumbuhlah sebuah cinta. Jika cinta tumbuh tanpa memperdulikan keyakinan, dapatkah cinta itu dikatakan sebagai cinta yang suci?
Cinta adalah pelengkap sebuah kehidupan. Namun cinta yang sebenarnya adalah cinta yang suci, bukan cinta yang tumbuh karena keegoisan. Melawan hati dan perasaan cinta yang bertentangan itu memang sulit, ku tahu itu. Tapi percayalah, suatu saat kita pasti akan menemukan cinta yang suci itu, asalkan masih berpegang pada sebuah keyakinan.
* T A M A T *
Penulis:
alamat facebook : Adelina Tri Lestari
blog : adelinatrismasa.blogspot.com
e-mail : adelinatrieguchi@yahoo.com
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.